Eksploitasi Perempuan dalam Penyaluran Karya Seni ke Ranah Publik: Tren atau Ironi?
![]() |
Foto: http://www.dazeddigital.com/fashion/article/30205/1/how-should-we-tackle-fashion-s-body-image-issues |
Selama beberapa tahun ini, gerakan kesetaraan gender terus diperjuangkan, tetapi saya sendiri merasa bahwa eksistensi perempuan masih benar-benar dipertanyakan. Saya tidak akan membahas tentang hak perempuan untuk memperoleh pendidikan yang layak, mengakses informasi seluasnya, serta ikut ambil peran dalam masyarakat di sini. Saya masih prihatin bahwa ternyata image perempuan di mata masyarakat tidak pernah berubah. Banyak mitos dan kepercayaan yang menjadikan kedudukan perempuan berada lebih rendah daripada laki-laki. Hal itu semata-mata karena perempuan dipandang dari segi seks, bukan dari segi kemampuan, kesempatan dan aspek-aspek manusiawi secara universal, yaitu sebagai manusia yang berakal, bernalar dan berperasaan.
Suatu ketimpangan gender yang menganggap bahwa perempuan sah-sah saja bila dijadikan sebagai obyek semakin mengintimidasi perempuan. Sudah menjadi pemandangan biasa ketika mengakses media sosial, kita akan menemukan foto-foto perempuan yang bagian tubuh privatnya menjadi media karya seni atau bahkan suatu barang yang diperjualbelikan. Misal sebuah clothing line memasarkan salah satu barang dagangannya berupa beanie hat, lalu menggunakan model perempuan yang berpakaian terbuka dengan latar tempat berada di ranjang putih yang cukup berantakan, namun titik fokus foto tersebut justru terletak pada belahan dada si model. Ada juga yang menggunakan keterampilan visualnya dengan melakukan body painting namun konteks yang dipublikasikan tidak hanya bagian yang digambar, melainkan bagian tubuh lain yang seharusnya tidak diekspos begitu saja sehingga mendapat peringatan dari administrator media sosial tersebut.
Sebagian masyakarat pasti berpendapat bahwa eksploitasi ini bisa terjadi karena si perempuan mengizinkan hal tersebut. Terlepas dari suatu keyakinan bahwa setiap manusia memiliki hak atas tubuhnya sendiri, doktrin yang telah tertanam pada benak perempuan perihal kesuksesan dan pengakuan di mata masyarakat dapat terangkat dengan melakukan hal semacam itu merupakan suatu ironi yang tidak bisa terelakkan lagi. Dalam hal ini, perempuan lebih sering menjadi sasaran pada suatu stigma (stereotype), sedangkan pihak yang memanfaatkan keadaan bertindak sangat kreatif dengan memancing sensasi birahi laki-laki untuk memikat konsumen atau menguatkan eksistensinya di mata publik.
Menurut saya, pola pikir masyarakat terbentuk atas berbagai aspek. Salah satu aspek pembentuknya adalah persamaan norma dan nilai. Ada beberapa alasan masyarakat enggan menerima suatu perbedaan, antara lain: Karena pandangan tersebut tidak sesuai dengan dogma yang tertanam dari kecil sehingga dipersepsikan sebagai sebuah ”standar” yang seharusnya, serta ketakutan masyarakat bahwa apa yang berbeda akan membuat zona nyaman mereka terusik. Saya tidak menyalahkan siapapun, mengubah paradigma orang banyak pun tidaklah mudah. Saya sendiri pun bukan seseorang yang melulu menitikberatkan norma dan nilai yang berlaku sebagai sandaran atas akal sehat dan pola pikir saya. Hanya saja, saya sangat menyayangkan tindakan beberapa pihak yang melakukan kejahatan kemanusiaan berupa pembendaan manusia seperti ini. Pada akhirnya, gender mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang bagaimana laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak sesuai dengan ketentuan sosial tersebut. Marilah kita membuka mata dan menggali lebih dalam kesadaran diri serta realitas yang kita miliki, sejauh mana kemampuan kita dalam menerima setiap perbedaan antar sesama manusia.
Semarang, 5 Juli 2015
Tulisan ini sebelumnya sudah dipublikasikan di yayajoleisa.tumblr.com pada tanggal 5 Juli 2015 sebelum situs Tumblr di blokir oleh Pemerintah Republik indonesia
Comments
Post a Comment